Lipat-Lipat Klub
Baru aja rampung ngelipat baju-baju yang rasanya gak ada abisnya. Padahal manusia di rumah ini cuma berempat itupun dua orangnya masih bayi balita, tapi rasanya kayak manusia seRW aku lipetin semua bajunya. Kemeng kebasss alhamdulillah! Takbeer..
Awalnya begitu. Tapi, entah sejak kapan keterbiasaan itu mulai muncul. Rutinitas ngelipet pakaian malam hari jadi terasa normal dan cukup enjoyable (enjoy ceunahh). Mungkin ini yang dinamakan keterbiasaan ba’da keterpaksaan ahahaha.
Ada satu hal yang aku sukain dari rutinitas lipat-lipat klub ini, refleksi diri. Seriuss refleksi! Ternyata ketenangan itu bukan hanya dari ibadah, tapi juga bisa datang dari kegiatan rutin IRT sesederhana lipet baju.
Tempo hari, aku sempet lihat postingan tentang betapa beruntungnya orang-orang yang masih punya anak kecil di rumahnya. Capek banget memang, menguras tenaga, dan rumah nggak kenal kata ‘rapi beneran’. Masa kita punya anak yang sedang dibesarkan, manusia cenderung fokus dan tahu jelas tujuan hidup dia. bekerjanya dia untuk siapa dan apa. Dan ternyata, masa itu hanya sebentar. Tiba-tiba anak udah gede, udah nggak cerewet dan udah nggak mau dipeluk lagi. Dan saat anak-anak sudah mentas, banyak yang jadi kehilangan arah dan bingung mau ngapain lagi.
Menjalani peran sebagai Bapak/Ibu menjadi semacam kompas kehidupan.
Alhasil, mensyukuri peran saat ini itu perlu. Menjalaninya dengan berkesadaran adalah penting.
Ada satu komentar di postingan itu yang relatable banget di aku. Intinya si ibu ini dengan usianya yang masuk kepala 4 dan anaknya sudah mulai SMP, beliau cerita kalau di masa anak-anaknya masih kecil, ngeliat tetangga atau temennya yang pada berkarier, dibanding ngeliat dirinya di kaca dengan daster dan kerepotan ngurus anak bocil. Bisa motoran berangkat pagi dan pakaiannya rapi, sempet bikin beliau iri.
Tapi, hidup terus berjalan dengan keputusan berusaha menjalani peran sebagai ibu yang full untuk anak dan suami, sekarang anak-anaknya begitu sayang ke beliau dan bahkan bilang “Mama terbaik sedunia”. Bikin beliau lupa momen iri tersebut dan bersyukur sudah bertahan di jalan yang sama.
Ngebayangin anak-anakku bilang “Mami terbaik sedunia” pastinya bakal bikin perasaan di dadaku membuncah dan mood aku seminggu setelahnya mungkin akan BAHAGIA TERUS. Hahaha. Aamiin.
Jujur kadang rasanya pengen berlari dan kejar karier lagi, rasanya kayak mengayuh roda di tempat dan butuh batu loncatan sekarang juga. Tapi lalu tersadar, rasanya kalau sekarang berkarier lagi pun, pastinya aku nggak akan mampu berdedikasi tinggi dan loyal ke tempatku bekerja, beban perusahaan banget dan tentunya peranku di rumah sebagai ibu dan istripun nggak penuh, akan banyak peralihan tanggung jawab ke orang lain yang mana hilang juga chance ngejar pahala dari situ . Serba nggak maksimal di sana dan di sini.
Kemarin lagi, liat tulisan tentang karier tertinggi perempuan adalah menjadi ibu bagi anak-anaknya, bagaimana bisa menjadi full time Mom dibilang cuma di rumah aja, sedangkan di luar sana yang kita bangun dunia dan sistemnya. Tapi jauh, di dalam sini ada manusia yang sedang kita besarkan, dan dunianya manusia ini, saat ini hanya kita saja.
Komentar
Posting Komentar