Manusia-Manusia Baik
Aku sudah melihat banyak jenis manusia yang baik dan unik dari beberapa daerah di belahan bumi
meski tak sampai seperempatnya, bagiku jumlah
itu cukup banyak dibandingkan jumlah panjang waktu kesempatan hidup hingga detik aku menulis
ini. Pernah suatu hari di waktu fajar selepas subuh, aku bertemu dengan seorang
ibu asal Mesir yang dengan sangat ringan
memberikan segala yang ada di kantungnya yang nyatanya sudah ia sediakan
mungkin sejak petang membeli permen penghilang sakit tenggorokan beserta kue
kacang khas Arab dan tak lupa beserta tissue yang ia bungkus rapih, hampir
semua yang melewatinya berhenti sejenak untuk mengambil makanan dan peringan
sakit tenggorokan yang tak kunjung jua membaik karena udara yang terlampau
kering. Semua ia sediakan secara
cuma-cuma berharap keridhaanNya dan berkah dari tanah Haram Madinah
Al-Munawwarah tak lupa ia mendoakan
semua orang yang ia temui dengan kata “ilaalliqaa’
fii Al-jannah (sampai bertemu di surgaNya nanti)” betapa ringan memberi jika mengharap ridhaNya
batinku, dan saat itu pula aku sadar banyak orang baik namun tak banyak yang
mampu melakukan langkah seperti itu, pun diriku.
Di lain kesempatan aku melihat ibu renta yang berjalan dengan kursi yang menopang tubuhnya namun tak menghentikan
semangatnya meletakkan berpuluh Al-Quran
baru di rak-rak Qur-aan masjid Nabawi, kulihat Al-Qur’aan itu keluaran
asli Madinah yang bisa langsung dikenali
dari cap resmi di lembar awal ketika kita membukanya, waktu itu aku tahu benar bahwa ia sedang bersedekah
namun aku baru benar-benar tersadar betapa yang ia lakukan sama sekali tak
bernilai remeh mengingat itu adalah amal jaariyah yang in syaa Allah akan ia
bawa selalu meski ia tak lagi hidup di dunia ini selama orang membacanya,
Al-Quran yang ia letakkan tempo hari. Cukup terlambat aku mengetahui bahwa
harga Al-quraan itu satuannya pun aku tak mampu membeli tak kurang dari 120
real atau setara Rp444.000,00. Lagi, diriku tertampar halus saat itu.
Dalam penerbangan pertama kali mengunjungi Vietnam, aku bertemu
perempuan yang sedikit lebih tua dariku yang melalui obrolan singkat kami dari
Kuala Lumpur ke Hanoi ku ketahui ia sudah sering berkeliling negara-negara di
Asia Tenggara, ia tak memakai kerudung yang akupun tak benar-benar tahu apakah
ia muslim atau tidak, yang aku ingat hanya betapa antusiasnya dia memberitahuku
untuk berhati-hati karena sulitnya mencari makanan halal di sana, dan masih dengan sangat
berbaik hati ia memberikanku nomornya
agar bisa saling menghubungi untuk memudahkannya memberitahuku beberapa
restoran halal sesampainya di sana. Saat itu aku menilik jauh ke dalam diri apakah mampu aku
berbicara dengan orang asing seperti aku ini yang kentara jelas baru pertama
kali melakukan penerbangan internasional sendiri (udik, batinku). Dan
apakah aku mau dengan senang hati memberikan nomorku pada orang yang hanya
dikenal melalui percakapan kurang dari 2 jam di pesawat hanya untuk memberikan
informasi restoran halal yang mana bisa ia cari lewat google? Terhempas aku ke
dalam pertanyaan mengenai adakah diriku memilki rasa rendah hati? Cerita itu
adalah sedikit bagian dari banyaknya orang yang mengagumkan di bumi ini.
Ada satu sosok yang akan selalu teringat dan menjadi contoh nyata
dalam hidup aku setelah orang tua pastinya, seorang tetangga seberang gang
rumahku yang akrab di hati meski keluarga kami jarang bertemu, bu Asep namanya.
Aku tak pernah benar-benar tahu nama asli bu Asep, kata ibuku Asep adalah nama
suaminya dulu sedangkan ia sendiri
adalah orang Padang asli. Cintanya pada kucing sudah mendarah daging bahkan
sebelum ia mengarungi rumah tangga yang menjadikannya pilihan untuk mengabdikan
seluruh hidupnya pada kehidupan manusia maupun hewan. Menghidupkan hewan dan
menjadi salah satu wakil dari manusia agar tetap layak dipanggil manusia.
Yang aku tahu, dia bukan sembarang orang, bu Asep wanita
berpendidikan tinggi yang menyandang
status peneliti di suatu perusahaan BUMN
di daerah Bogor yang aku tahu darinya langsung saat suatu siang secara tidak
langsung berada di mobil yang sama ke arah Bogor, ia menceritakan dengan tenang
seakan dirinya bukan apa-apa. Ibu Asep ini orang penting bukan hanya untuk
manusia tapi juga bagi kucing yang membuatnya
menyandang status sebagai ibu kucing di daerah kami. Bagaimana tidak, dua rumah sudah ia
miliki 1 di bagian depan dan bagian
lainnya di belakang rumahnya yang menghadap gang sebelah. Semua sengaja ia
sediakan untuk kucing-kucing di lingkungan rumah kami agar menjadi tempat
berteduh dan mengisi perut kala lapar secara cuma-cuma, kucing sakit, cacat
mapun pincang dibawanya ke rumah, semua
ditampungnya. Dari pertemuan di mobil itupun aku tahu kemana-mana selalu dibawanya bungkusan nasi
campur ikan untuk dibagikan pada tiap kucing yang ia temui di jalan. Dapatkah
aku lakukan itu? Tanyaku jauh dalam.
Beberapa bulan lalu aku
sempat berkunjung secara khusus ke rumahnya untuk pertama kalinya, biasanya
beliau yang ke rumah lebih dulu, tapi karena kucingku miko sedang sakit dan aku butuh nasihat
seseorang yang paham benar, setiba di rumahnya aku baru mengetahui bahwa
semuanya benar tentang bu Asep yang selama ini aku dengar melalui orang lain.
Di rumahnya aku melihat bagaimana kucing yang buta sejak lahir mampu dengan
baik mencari jalan walau tertubruk sesekali hanya untuk menghampiri bu Asep dan
mendapatkan elusan, aku melihat kucing yang kakinya sudah tak utuh berjalan
terseok-seok dengan manja menghampiri bu Asep ketika mendengar suaranya. Meski
hidup sendiri ada terlalu banyak cinta yang mengelilingi bu Asep yang menampik
semua anggapan apapun dari fikiran orang-orang di dunia ini, tentang betapa
kesepiannya tak bersama dengan suami atau memiliki anak. Sesal tak terperi
karena tak pernah benar-benar dekat dan belajar banyak darinya, tak mengambil
sedikit saja kerendah hatiannya untuk aku imitasi dan tanam dalam diri.
Lagi, pagi cerah tanggal 8 Juli 2018, aku kembali menemukan
sentilan itu dari perjalanan pendek ke pasar dekat rumah . Aku dengan sepupuku yang
sedang sibuk memesan nasi uduk di pasar
kaget gang seberang yang ikut terkaget-kaget melihat banyaknya kucing berkumpul
duduk rapih menunggu seseorang untuk datang, tak lain adalah bu Asep. Pagi
benar di depan ruko sudah digelarnya plastik putih berjumlah sebanyak kucing
yang ada dan meletakkan di atasnya lumatan nasi yang dicampur ikan. Berdesir
hatiku melihat betapa manusia bisa menjadi lebih dari sekedar malaikat yang
bukan hanya patuh, namun mampu berbagi pada
makhluk yang berkata ‘terima kasih’ saja ia tak mampu. Namun semua tahu, barangkali di sela
waktu tidur dan jalannya para kucing, mereka panjatkan doa terkhusus untuk bu
Asep agar sejahtera hidup dan berkah tiada tara. Dan semua tahu baik manusia maupun
hewan mendoakan agar panjang umurnya, agar masuk surga, dan agar bahagia
hidupnya, selalu.
Komentar
Posting Komentar