Saban dan Siang Hari
Salah satu hal yg tidak aku sukai dari tidur siang lelap adalah mimpinya. Seringkali mimpi itu datang menjelma menjadi semangat membara tak tergoyahkan yang dibungkus dalam bentuk kelebat mimpi masa kecil. Hal ini tak membuatku sesal pun tak bahagia karena tiap aku terbangun aku menyadari terlalu banyak momen yang telah dilewati dan aku tak tahu pintu mana yang menggiring agar mimpi itu bisa jadi nyata, seringkali membuat aku merasa lebih miris setelahnya karena tahu smua tak bisa digapai dengan begitu mudahnya dan rasanya terlihat terlalu sulit untuk dibangun kembali.
Di samping itu lebih banyak sedihnya, seperti siang ini aku tidur lelap di salah satu kamar neneknya Balqis setelah dinas malam yang tak memberi kami tidur kesempatan barang satu jam pun. Tapi inilah yang harus dijalani kataku dalam hati berusaha menegarkan diri yang seketika kata itu terlontar dan seketika itu pula tangisku pecah di antara salam terakhir dan melipat mukena. Entah kenapa akhir akhir ini tak terhitung jumlahnya aku kangen ayah seringkali waktu menolong partus atau melakukan asuhan bayi baru lahir, yang kubayangkan adalah wajah ayah yang mrnggendongku saat aku berumur 0 hari.
Saban hari dengan penuh kekonyolan aku menangis di depan infant warmer yang entah kenapa aku pilih di situ, aku sedih bukan main karena itu hari pertama magang di minggu terakhir ramadhan dan ayah mengantarku naik motor dari rumah kami yang jauh di Bekasi ke Kalideres ini, Jakarta Barat. Entah kenapa pula aku sedih waktu mengantar ayah kembali dengan menaiki bus ke Bekasi karena aku harus memakai motor untuk pulang pergi puskesmas-rumah nenek Balqis. Rasanya semua memori masa lalu tentang sulitnya ayah dan ibu tiap bulan untuk menjengukku di pondok karena tak punya mobil pribadi harus rela bermacet dan berpanas ria selama menunggu bus jalan sesuka hati. Sampai sini mungkin aku menjadi terlalu perasa tapi aku jadi benar ingat mengapa dulu aku begitu kerasnya berusaha mengerti tiap pelajaran yang disampaikan di sela sela tidurku yang tak ada habisnya, alasan di balik tiap partisipasi dalam perlombaan menang ataupun kalah, tak lain melihat ibu dan ayah lega tiap berkunjung ke pondok karena anaknya belajar dengan baik karena tak ada yang dapat aku bayar pun balas.
Menyusul kejadian hari pertama magang, aku menangis di tempat yang lebih pas karena tak ada yang menonton, bukan bayi baru lahir, tembok RB apalagi kaca incubator. Aku hanya teringat semalam ayah, ibu, ade, aa, bibi dewi, rizki dan nabila mengantarku ke PKM untuk sejenak aku jadi teringat kembali rasanya berkumpul dan dibutuhkan setelah sekian hari aku tak pulang di Ramadhan momen hari terakhir bersama keluarga.
Lekat di ingatku sebelum masuk shift ayah sempat sempatnya meminta dipeluk sebelum aku masuk ruangan dan meski terlihat lucu karna tak pernah, nyatanya aku masih menangis saat menulis ini.
14.55 WIB 18 Juni 2018
Komentar
Posting Komentar