Percakapan Kereta

Tak habis habis aku berlari-lari kecil karena menghindari terkena air hujan terlalu banyak yang sudah dapat dipastikan ketika masuk gerbong kereta nanti akan menggigil tubuhku dibuatnya, perpaduan air hujan dan ac kereta yang sempurna. Wajar aku sedang berada di Kota Hujan, Bogor.
Aku seperti biasanya tidak dapat tempat duduk, pun kalau dapat biasanya aku memilih berdiri karena pada akhirnya akan berdiri pula melihat banyaknya penumpang ibu-ibu dan anak-anaknya yang membuatku selalu bimbang tiap kali ada penumpang baru yang masuk, kasih bangku atau enggak? Padahal simpel aja ya kita harus kasih, ada yang lebih berhak, tapi keegoisan hati yang biasanya datang ketika kita sudah merasa tempat yg diduduki adalah hak kita. Aku tak mau bergumul dengan diriku sendiri, lebih baik tidak duduk dari awal. Aku memilih tempat strategis biasanya untuk berdiri yaitu pegangan besi di pinggir kursi penumpang yang kadang ada penutup kadang tidak, namun cukup nyaman untuk disenderi terlebih untuk waktu berdiri yang tidak sebentar.
Tak berapa lama sebelum kereta berangkat ibu paruh baya dan anaknya yang seusiaku mungkin, masuk dan mencari tempat duduk pemandangan yang sudah sangat biasa bagi mereka yang sering bepergian naik kereta, Mbak.. Mas.. Bapak.. Akang.. Adek dan semua yang masih segar bugar, enggan memberikan tempat duduknya untuk ditempati, sempat sedih karena ibu itu terlihat sangat ngos-ngosan, ada yang pura-pura tidur, main hape, sampai melengos begitu saja. Sudah biasa.
Butuh waktu hampir semenit, bibirku mulai gatal dan langkah kakiku mulai tak dapat ditahan lagi untuk meminta seorang gadis bangun dan memberi ibu itu tempat duduk, sampai sebelum seorang wanita mencolok dengan pakaian dan dandanan yang tak kalah mencolok, memberi tempat duduk pada si ibu. Sampai terharu aku dibuatnya, jujur untuk kesan pertama jika melihatnya akan ada pikiran negatif tapi di antara banyaknya yang berpakaian lebih sopan hanya dia satu-satunya yang memberikan tempat duduk meski dengan baju yang kurang pantas.

Dengan mantap ia memberikan tempat duduknya dan berjalan ke arahku untuk ikut berdiri di samping kursi kereta. Lewat sekitar 4-5 stasiun di depan tak ada hal yang kami bicarakan sedikitpun, aku hanya sibuk menumpukan daguku pada pembatas besi sambil memandang ke luar jendela kereta (kalau dipikir ini terlalu awkward wkwkw tapi emang gitu adanya). Mbak itu pun hanya berdiri memandang lurus ke depan, sampai tak berapa lama ia berkata padaku.

Si mbak: "mbaknya turun di mana mbak?"
Tanyanya sekaligus menyapa aku yang sedari tadi bengong. Entah bosan entah kasihan dengan aku :')

Aku: "eh, ini mbak turun di Manggarai, mau ke Bekasi jadi transit dulu, mbaknya turun di mana? "

Si mbak: "ohhh iyaa bekasi yaa, kalo saya turun di ujung, di stasiun kota"

Di suatu senja di dalam KRL menuju Manggarai ditemani rintik hujan yang semakin menjauh semakin tak terlihat lagi, aku belajar banyak hal dari seorang wanita pekerja malam yang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tahun Semuanya Berubah

1 Tahun Homecare

Sifat Dasar Manusia: Jahat